Larangan Ekspor Batu Bara Bisa Rusak Iklim Usaha?

  • Bagikan
larangan ekspor batu bara
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan, Rabu (7/3/2018). - ANTARA/Nova Wahyudi

Artikula.id, Jakarta – Pada 31 Desember 2021, Kementerian ESDM menerbitkan surat tentang larangan ekspor batu bara mulai 1 Januari 2022 sampai 31 Januari 2022. 

Di penghujung tahun 2021 kemarin, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM mengirimkan surat kepada semua Direktur Utama pemegang PKP2B, IUP Operasi Produksi, IUPK, dan pemegang Izin Pengangkutan dan Penjualan Batubara. 

Surat tersebut menjelaskan bahwa larangan ekspor batu bara karena pasokan batu bara untuk PLTU saat ini kritis; Ketersediaan batu bara untuk kelistrikan di dalam negeri sangat rendah. Hal tersebut bisa berdampak pada sistem kelistrikan nasional.

Karena itu, Kementerian ESDM menetapkan pelarangan penjualan batu bara ke luar negeri selama sebulan, yakni pada 1-31 Januari 2022. Perusahaan-perusahaan tambang wajib memasok seluruh produksi batu bara untuk kebutuhan dalam negeri.

Batu bara yang sudah di pelabuhan muat atau di kapal juga berkewajiban untuk segera mengirimkan ke PLTU milik PLN dan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP).

Namun begitu, pelarangan penjualan batubara ke luar negeri tersebut di atas akan tetap mendapat evaluasi dan peninjauan kembali berdasarkan realisasi pasokan batubara untuk Grup PT PLN (Persero) dan IPP”. Hal ini seperti tertulis di paragraf akhir surat yang bertandatangan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, pada Jumat (31/12/2021) tersebut.

Larangan Ekspor Batu Baru Bisa Rusak Iklim Usaha?

Kebijakan tentang larangan ekspor batu bara ini salah satunya mendapat respons dari Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo).

Ketua Umum Aspebindo, Anggawira, menilai pelarangan ekspor batu bara ini bakal menimbulkan masalah. Hal ini karena banyak perusahaan sudah terikat kontrak untuk menjual batu bara ke pembeli di luar negeri. 

“Pastinya ada dispute. Kita akan cek ke teman-teman anggota,” ujarnya seperti redaksi kutip dari kumparan.

Menurut Anggawira, kepentingan dalam negeri memang paling utama. Namun, pemerintah jangan membuat kebijakan yang merusak iklim usaha.

“Kepentingan dalam negeri memang harus jadi yang utama. Tapi harus memperhatikan keadilan dan tata kelola secara bisnis yang sudah berjalan. kebijakan ini jangan jadi short (jangka pendek) seperti ini, bisa menjadikan iklim usaha tidak konsdusif, perlu penekanan yang komprehensif,” tegasnya. (DK)

  • Bagikan