Artikula.id, Pekanbaru – Kasus pencabulan dan persetubuhan anak oleh AR (20) terhadap AY (15) pada 25 September 2021 berakhir damai. Uang 80 juta sebagai mahar damai itu telah memancing ragam komentar netizen. Umumnya, meminta pihak kepolisian bersikap tegas menyikapi kasus tersebut. Apalagi kasus pemerkosaan, pelecehan, pencabulan, dan sejenisnya sedang mendapat sorotan masif publik nasional.
Hal itu membuat pihak Polresta Pekanbaru harus angkat suara. Lewat konferensi pers, Sabtu (08/01/22), Kapolresta Pekanbaru Kombes Pria Budi menyampaikan terkait berita yang beredar di masyarakat tentang adanya perdamaian antara kedua belah pihak.
“Faktanya telah terjadi perdamaian antara pihak tersangka dan pihak korban. Namun, dalam penanganan kasus ini tetap berjalan sesuai dengan aturan hukum yang ada, karena kita ketahui kasus ini bukan delik aduan. Dan kasus ini sudah tahap 1, artinya berkas sudah ada di Kejaksaan. Kalau sudah lengkap berkas ini (P-21), tersangka akan kami kirimkan beserta barang bukti,” jelas Kombes Pria Budi.
Kombes Pria yang didampingi Kabid Humas Polda, Kasat Reskrim, pihak keluarga tersangka dan pihak korban, juga coba meluruskan bahwa secara hukum istilah yang tepat untuk perkara ini ialah pencabulan dan persetubuhan anak, bukan pemerkosaan.
“Oleh karena itu, dalam perkara ini diterapkan Pasal 81 atau 82 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Pencabulan dan Persetubuhan Anak,” paparnya.
Pihak keluarga tersangka yang hadir pada konferensi pers itu menjelaskan soal uang damai 80 juta sebagai bentuk rasa simpati untuk kelanjutan pendidikan si korban. Jefri, ayah tersangka, juga memohon agar tidak membawa-bawa lembaga DPR.
“Perdamaian murni antara dua pihak keluarga, tidak ada polisi di sana.
Saya sendiri, Jefri yang memberikan uang ini kepada ayah korban. Jadi kalau bisa jangan dibawa-bawa anggota DPRD nya,” sebut Jefri.
Kasus Pencabulan di Pekanbaru dan Rendahnya Pendampingan terhadap Korban Kekerasan Seksual
Meskipun pemberian “bantuan” dalam kasus pencabulan di Pekanbaru ini beralasan atas dasar simpati untuk pendidikan korban, namun publik melihat pemberian 80 juta itu bentuk tekanan terhadap pihak korban. Publik juga menyayangkan sikap pihak korban, lebih tepat ayahnya, yang mau menerima uang tersebut.
Power dan kapital dari pihak pelaku kemungkinan besar telah memengaruhi keputusan keluarga korban untuk mencabut laporan dan memilih jalan damai.
Jika benar demikian, tentu saja hal ini menjadi rapor merah terhadap penuntasan kasus kekerasan seksual di tanah air, yang tebang pilih dan begitu enteng mengabaikan kondisi psikis korban, terutama yang berada di garis rentan (marjinal dan berstatus ekonomi rendah).
Oleh karena itu, butuh pendampingan dan regulasi yang kuat, sekaligus berpihak pada korban. Sebagaimana ditulis Kalis Mardiasih, aktivis perempuan, di akun instagramnya (05/01) dalam menanggapi kasus tersebut, “Apa pentingnya RUU TPKS Pro-Korban? Agar korban (yang rentan/miskin) WAJIB mendapat pendamping hukum pro korban dengan GRATIS DARI Negara, sehingga pemantauan kasus berlanjut sampai korban dapat keadilan.”
Dengan demikian, hal-hal seperti pengancaman, penyuapan dan intimidasi tidak lagi terjadi terhadap korban kekerasan seksual.
Pada sisi ini, pengesahan RUU TPKS cukup urgen untuk memberikan perlindungan bagi korban, keluarga korban, dan saksi. Selain itu, pelaku kekerasan seksual seharusnya juga mendapatkan rehabilitasi agar tindakan kekerasan seksual tidak kembali terjadi. (MW)